Sabtu, 10 Januari 2015

SISTEM PERTANIAN TERPADU



SISTEM PERTANIAN TERPADU
INTEGRASI JAGUNG dan TERNAK SAPI POTONG

PENDAHULUAN
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam.
Pertanian terpadu secara sederhana dapat dimaknai sebagai pertanian yang menggabungkan berbagai subsektor (pertanian, peternakan dan perikanan) dalam satu area dengan luasan tertentu sehingga lebih efisien dan tidak menghasilkan limbah yang tidak dapat didaur ulang. Pertanian terpadu menjadi efisien karena relatif tidak membuang limbah. Sebagai contoh: Pertanian Terpadu di Lembah Hijau Sragen Jawa tengah. Jerami limbah dari budidaya padi sawah, dimanfaatkan untuk silase sebagai pakan sapi perah. Kotoran sapi perah dimanfaatkan sebagai pupuk organik, sedangkan limbah cair dari kandang dialirkan ke kolam ikan patin. Dari proses yang sedang berjalan, petani dapat memanen padi, susu dan ikan patin. Pupuk organik juga dapat diaplikasikan untuk tanaman hias sehingga dapat juga berjualan tanaman hias dan pupuk organik.
Pembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian dalam arti luas. Dengan adanya reorientasi kebijakan pembangunan sebagaimana tertuang dalam program RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) maka pembangunan pertanian perlu melakukan pendekatan yang menyeluruh dan integrative dengan sub sektor yang lain dalam naungan sektor pertanian. Hal ini semakin penting untuk dilakukan apabila dikaitkan dengan program swasembada daging Suharyanto, (2006) untuk memenuhi kebutuhan protein hewani manusia yang sampai saat ini belum mampu terpenuhi.

PEMBAHASAN
Penerapan sistem pertanian terpadu integrasi ternak dan tanaman terbukti sangat efektif dan efisien dalam rangka penyediaan pangan masyarakat. Siklus dan keseimbangan nutrisi serta energi akan terbentuk dalam suatu ekosistem secara terpadu. Sehingga akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi yang berupa peningkatan hasil produksi dan penurunan biaya produksi.
Kegiatan terpadu usaha peternakan dan pertanian ini, sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk makan ternak. Integrasi hewan ternak misalnya dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya. Sistem tumpangsari tanaman dan ternak banyak juga dipraktekkan di daerah perkebunan. Di dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput di atasnya merupakan komponen kedua.
Praktek penerapan pola usaha tani konservasi ini hendaknya dilakukan secara terpadu, seperti sistem multiple croping (pertanaman ganda / tumpang sari), agroforestry, perternakan, dan dipadukan dengan pembuatan teras. Misalnya dalam praktek PHBM, tanaman pangan ditanam pada bidang teras meliputi kedelai, kacang tanah, jagung dan kacang panjang yang di tanamn diantara tanaman tahunan (misal: jati, mauni atau pinus sebagai tanaman pokok). Pada tepi teras ditanami dengan tanaman penguat teras yang terdiri dari tanaman rumput, lamtoro dan dapat ditanami tanaman hortikultura seperti srikaya ataupun nanas dan pisang. Tanaman rumput pada tepi teras disamping berfungsi sebagai penguat teras juga sebagai sumber pakan ternak (sapi atau kambing).
1.    Tinjauan Umum Sapi potong
Ternak sapi potong Indonesia memiliki arti yang sangat strategis, terutama dikaitkan dengan fungsinya sebagai penghasil daging, tenaga kerja, penghasil pupuk kandang, tabungan, atau sumber rekreasi. Arti yang lebih utamanya adalah sebagai komoditas sumber pangan hewani yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia, memenuhi kebutuhan selera konsumen dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, dan mencerdaskan masyarakat (Santosa & Yogaswara, 2006).
Sebelum tahun 1980-an, usaha peternakan sapi potong di Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu usaha dengan pendekatan usaha tani dan bersifat tradisional. Pemeliharaan sapi oleh para petani umumnya dalam jumlah yang relatif kecil dan merupakan backyard farming. Ternak sapi di fungsikan sebagai tabungan. Di beberapa daerah seperti di NTT dan NTB dimana terdapat padang rumput tingkat pemilikan mungkin lebih besar, tetapi cara pengelolaan pun masih tradisional. Program yang dikembangkan oleh instansi teknis umumnya terbatas dengan peningkatan kualitas genetis melalui program IB atau penyebaran bibit sapi lokal ataupun impor ke daerah transmigrasi. Kalau toh ada investasi dalam usaha sapi potong, pada saat itu masih terbatas dalam Breeding dan dikelola oleh badan usaha milik negara. Dengan perkataan lain, usaha peternakan masih terfokus di segmen hulu dan masih dalam skala yang sangat kecil.
  Pengembangan sapi potong perlu mendapat perhatian serius mengingat permintaan daging belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Salah satu kendala dalam usaha ternak sapi potong adalah produktivitas ternak rendah karena pakan yang diberikan berkualitas rendah. Di sisi lain, potensi bahan baku pakan lokal seperti limbah pertanian dan perkebunan belum dimanfaatkan secara optimal, dan sebagian besar digunakan sebagai bahan bakar, pupuk organik atau bahan baku industri. Upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas nutrisinya melalui fermentasi, suplementasi, dan pembuatan pakan lengkap. Diversifikasi pemanfaatan produk samping atau limbah agroindustri serta limbah pertanian dan perkebunan menjadi pakan telah mendorong berkembangnya agribisnis sapi potong secara integratif dalam suatu sistem produksi yang terpadu dengan pola ulang biomassa yang ramah lingkungan atau dikenal zero waste production system (Wahyono dan Hardianto 2004).

2.    Tanaman Jagung (Zea Mays).
Tanaman jagung (Zea mays L.) dalam sistematika tumbuh-tumbuhan menurut Warisno (2007) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Class : Monocotyledonae
Ordo : Poales
Family : Poaceae
Genus : Zea
Species : Zea mays L.
Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Susunan morfologi tanaman jagung terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan buah (Wirawan dan Wahab, 2007).
Perakaran tanaman jagung terdiri dari 4 macam akar, yaitu akar utama, akar cabang, akar lateral, dan akar rambut. Sistem perakaran tersebut berfungsi sebagai alat untuk mengisap air serta garam-garam mineral yang terdapat dalam tanah, mengeluarkan zat organik serta senyawa yang tidak diperlukan dan alat pernapasan. Akar jagung termasuk dalam akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 m. Pada tanaman yang cukup dewasa muncul akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu menyangga tegaknya tanaman (Suprapto, 1999).
Batang jagung tegak dan mudah terlihat sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gadum. Batang tanaman jagung beruas-ruas dengan jumlah ruas bervariasi antara 10-40 ruas. Tanaman jagung umumnya tidak bercabang. Panjang batang jagung umumnya berkisar antara 60-300 cm, tergantung tipe jagung. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin (Rukmana, 1997).

3.    Intergasi sapi potong dengan tanaman jagung
Tanaman jagung adalah tanaman pangan yang mudah tumbuh di tempat manapun meski lahanya kering, dan mampu berproduksi meskipun lahan kurang subur, dalam pemupukan tanaman jagung, tanaman jagung rensponsif terhadap segala jenis pupuk dan hasil limbah tanaman jagung dapat di manfaatkan sebagai pakan hewan ternak khususnya sapi dan kambing, limbah yang di hasilkan jagung dapat mudah di cerna oleh ternak.
Sapi potong merupakan hewan ternak yang menghasilkan daging untuk di konsumsi sebagai makanan, dan juga limbahnya (kotoran sapi dan urin) dapat di manfaatkan sebagai pupuk organic yang dapat mengsuburkan tanah dan menambah vitamin bagi tanaman untuk tumbuh dan berproduksi.Sapi potong juga mudah di ternakan di tempat manapun, sapi potong tidak sama dengan sapi pera yang tempat pembudiayaanya harus di tempat yang bersih dan steril karena sebagai penghasil susu yang harus di jaga keseterilanya agar dapat menghasilkan susu yang berkualitas tinggi.
Pengembangan pola integrasi sapi dan padi di Sulawesi Selatan sangat perlu untuk dilaksanakan karena daerah ini memiliki luas persawahan 642.340 ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan,1999), dan populasi sapi potong sebesar 783.659 ekor (Dinas Peternakan,1998). Kedua komoditi ini sampai sekarang cenderung berdiri sendiri dan terpisah, sawah pada umumnya ditanami jagung serta palawija sedangkan ternak dipelihara diluar areal persawahan. Dengan adanya teknologi fermentasi limbah pertanian bermanfaat untuk memperkaya nilai gizi dan daya cerna. Selain itu fermentasi kotoran ternak akan diperoleh pupuk organik yang berkualitas. Dengan demikian pola integrasi sapi dan jagung  merupakan sistem usaha tani yang efektif untuk peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan yang kering yanag hanya tumbuh rumput-rumputan dan tanaman jagung(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2003).
  Program sistem integrasi tanaman- ternak merupakan salah satu alternatif yang potensial dalam mendukung pembangunan pertanian di Indonesia. Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktifitas dan produksi tanaman pangan (beras, jagung, sorgum dan lain sebagainya) yang terintegrasi dengan usaha ternak sapi potong serta dapat meningkatkan pendapatan petani (Priyanti, 2007)
Sistem integrasi ini merupakan penerapan usaha terpadu melalui pendekatan low external input antara komoditas jagung dan sapi, dimana limbah tanaman jagung digunakan sebagai pakan sapi, dan kotoran ternak sebagai pakan utama pembuatan kompos dimanfaatkan untuk pupuk organik yang dapat meningkatkan kesuburan lahan. Pendekatan low external input adalah suatu cara dalam menerapkan konsep pertanian terpadu dengan mengupayakan penggunaan input yang berasal dari sistem pertanian sendiri, dan sangat minimal penggunan input produksi dari luar sstem pertanian tersebut (Suharto, 2000) dalam Priyanti, (2007).
  Limbah pertanian tanaman jagung  yang dihasilkan dari suatu aktifitas belum mempunyai nilai ekonomis dan pemanfaatannya dibatasi oleh waktu dan ruang sehingga limbah dapat dianggap sebagai sumber daya tambahan yang dapat dioptimalkan. Pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak mampu memberi nilai ekonomis melalui pengurangan biaya pakan dan membantu menekan pencemaran lingkungan. Keuntungan dalam pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak antara lain (Anonim, 2011):

1. Memberi nilai tambah terhadap limbah. Pemanfaatan limbah yag mungkin sebelumnya belum digunakan sebagai bahan pakan dengan sendirinya akan memberikan nilai ekanomis terhadap limbah yang ada.
2.  Menciptakan lapangan kerja baru. Kegiatan pengolahan limbah pertanian menjadikan pakan tentunya memerlukan tenaga manusia yang juga berarti menciptakan lapangan kerja baru.
3.  Sanitasi lingkungan. Upaya pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak secara tidak langsung mampu meningkatkan kebersihan dan menekan pencemaran akibat pembuagan limbah yag tidak tepat
4.  Menekan impor bahan pakan. Subtitusi penggunaan bahan baku pemenuhan ketersediannya masih diimpor dengan limbah dengan kandungan zat makanan yang setara merupakan alternative yang bijaksana.
Kompos merupakan sisa bahan organik yang berasal dari tanaman, hewan, dan limbah organik yang telah mengalami proses dekomposisi atau fermentasi. Jenis tanaman yang sering digunakan untuk kompos di antaranya jerami, sekam padi, tanaman pisang, gulma, sayuran yang busuk, sisa tanaman jagung, dan sabut kelapa. Bahan dari ternak yang sering digunakan untuk kompos di antaranya kotoran ternak, urine, pakan ternak yang terbuang, dan cairan biogas.. Beberapa kegunaan kompos adalah: 

1.    Memperbaiki struktur tanah.
2.    Memperkuat daya ikat agregat (zat hara) tanah berpasir.
3.    Meningkatkan daya tahan dan daya serap air.
4.    Memperbaiki drainase dan pori - pori dalam tanah.
5.    Menambah dan mengaktifkan unsur hara. (Suriadikarta, Didi Ardi, 2006)
  Pola integrasi sapi dan jagung di lahan yang kering mampu menghasilkan manfaat yang sangat menguntungkan bagi keterpaduan system tersebut.
1.    Menjaga Kelestarian Ekosistem Lahan Jagung
2.    Murah, Mudah Dan Ramah Lingkungan
3.    Mengurangi Penggunaan Konsentrat  Berlebih
4.    Mengurangi Penggunaan Pupuk  Berlebih
 
DAFTAR PUSTAKA


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2003. Sistem Integrasi Padi-Ternak Departemen Peranian Sulawesi Selatan.

Priyanti. 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan pengeluaran Rumah Tangga Petani. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Santosa dan Yogaswara. 2006. Manajemen Usaha Ternak Potong. Niaga Swadaya. Jakarta.